GEREJA YANG HIDUP
Kisah Para Rasul 2:41-47
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus-ditandai dengan baptisan (ayat 41) dan karena Kristus berasal dari TUHAN maka dapat kesimpulan bahwa Gereja adalah persekutuan umat Allah. Gereja yang hidup adalah gereja yang meminjam istilah Dietrich Bonhoeffer (ke dalam bermakna, ke luar relevan). Dengan kata lain, kehadirannya dirasakan tidak hanya oleh umat, tetapi juga oleh masyarakat di sekitarnya.
Cara hidup jemaat yang pertama merupakan gambaran tepat tentang gereja yang hidup. Teks ini menggambarkan kehidupan yang penuh dengan kegembiraan dalam mengikut Yesus sebagai jemaat mula-mula, dan bukan intimidasi seperti yang sering diajarkan oleh beberapa pengajar di gereja yang lebih mengedepankan salib, penderitaan, dan hukuman. Secara tekstual, untuk melihat gambaran gereja yang hidup melalui cara hidup jemaat yang pertama adalah sebagai berikut:
Ayat 41, menggambarkan betapa orang menyambut baik pemberitaan Injil yang disampaikan oleh para rasul. Sambutan positif itu mereka wujudkan dengan memberi diri dibabtis. Babtisan inilah yang membuat jemaat bertumbuh secara kuatitatif. Pertumbuhan secara kualitatif dapat kita telusuri pada ayat-ayat berikutnya.
Ayat 42, ada perubahan pola kehidupan jemaat setelah dibabtis. Mereka tekunan dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Di samping itu, mereka selalu berkumpul untuk memecah roti dan berdoa. Jemaat pertama memiliki antusiasme yang berkesinambungan untuk bersekutu, berdoa dan memecah roti (mengingat kasih dan kebaikan Tuhan dalam diri Yesus Kristus sebagai pusat pengajaran Kristen).
Ayat 43, mengkisahkan bahwa para rasul mengadakan mujizat dan tanda. Jemaat menjadi ketakutan. Kata ketakutan di sini bukan berarti intimidasi, namun lebih pada takjub, hormat dan mendorong jemaat untuk memuji dan menyembah dengan penuh sukacita. Ketakutan itu menjadikan jemaat semakin senang dan yakin serta teguh akan imannya.
Ayat 44-45, dalam persekutuan percaya ada kepedulian sosial yang tinggi. Ayat ini sebaiknya dilihat sebagai sikap jemaat yang diubahkan. Misalnya, dari jemaat yang cenderung tamak dan tidak peduli dengan keadaan sesamanya, menjadi jemaat yang mau berkorban dan memberi kepada sesama yang membutuhkan. Walaupun ada tafsiran yang harfiah yang mengatakan bahwa karena ketakutan akan pengajaran para rasul- misal, tentang kedatangan Tuhan yang kedua yang semakin dekat dengan membawa pembalasan maka membuat mereka membuat keputusan drastis dengan menjual segala miliknya untuk diberikan kepada orang lain. Hati-hati, kalau pengenalan umat kepada Kristus dilandasi sebuah intimidasi maka ada langkah yang salah dan kadang dapat menjadi ajaran, bahkan aliran yang sesat.
Ayat 46-47a, ini hampir mirip dengan ayat 42. Namun ada tambahan tentang pola persekutuan yang bergiliran, kemudian makan bersama dengan gembira dan dengan tulus hati (ingat, bukan dengan perasaan terintimidasi, tapi penuh kegembiraan yang tulus).
Ayat 47, ayat ini memberitakan kisah yang obyektif dari masyarakat sekitar. Ayat ini mengatakan bahwa mereka (jemaat pertama ini) disukai banyak orang. Kalau saya memandang secara posistif, tentu kehadiran gereja seharusnya bisa disukai oleh masyarakat. Gereja sudah seharusnya mengabarkan Injil (kabar kesukaan) dalam segala bentuknya. Bukan justru kabar permusuhan, perpecahan, dan sejenisnya.
Sebagai jemaat yang pertama, seperti sebuah komunitas baru, memang seringkali memiliki antusiasme yang besar. Seiring berjalannya waktu, memang semangat ini kadang luntur. Sehingga sudah seharusnya semangat yang demikian terus terpelihara. Sayangnya, banyak gereja, semakin lanjut usianya kadang semakin redup semangat dan antusiasmenya. Sebagai bahan bahasan untuk persekutuan wilayah, maka jemaat diajak untuk melihat cara hidup jemaat pertama ini sebagai cermin persekutuan yang hidup. Sebagai bagian dari gereja yang sudah memasuki usia 71 ini, ajaklah jemaat untuk terus memiliki semangat hidup dan antusiasme untuk terus bertumbuh dan menghasilkan buah.
Sebagai pembanding, maka dalam persiapan ini saya sampaikan 7 karakteristik gereja yang hidup menurut Dietrich Bonhoeffer:
Visi yang jelas
Visi seumpama titik terang di ujung lorong yang gelap, kepadanya segala daya dan upaya diarahkan. Visi tidak hanya akan menjawab pertanyaan untuk apa gereja itu ada, tetapi juga kemana gereja itu akan mengarah. Memiliki visi seumpama anak panah yang punya sasaran bidik, titik dimana semua energi, kemampuan, dan perhatian seluruh anggota diarahkan, landasan sekaligus tujuan dari semua kegiatan dan program gereja.
Struktur organisasi yang dinamis
Tidak ada yang meragukan peran Roh Kudus dalam gereja. Namun, hal itu bukan berarti gereja tidak perlu ditata. Struktur organisasi yang dinamis memungkinkan “aturan main” yang jelas, tegas, sekaligus terarah, sehingga gereja cepat tanggap, bereaksi secara akurat, dan berinteraksi secara tepat. Ketidakharmonisan bisa diminimalkan, potensi yang ada pun bisa disalurkan lebih efektif dan efisien untuk mencapai visi.
Ibadah yang hangat
Ibadah yang hangat memungkinkan jemaat pulang dari beribadah dengan mendapatkan “sesuatu”, baik dari khotbah yang disampaikan, maupun dari suasana ibadah yang di bangun, sehingga dapat dijadikan “bekal” dalam hidup keseharian mereka. Akan tetapi, jangan salah, ibadah yang “hidup” tidak sama dengan ibadah yang ingar bingar, penuh musik, dan sorak sorai. John Stott berpendapat tentang ibadah yang penuh kekhidmatan sekaligus penuh seukacia, yaitu ketika warga jemaat turut terlibat dengan penuh antusias, khotbah disampaikan oleh hamba Tuhan yang secara sungguh-sungguh menyiapkan dan menggumuli firman Tuhan, tim musik dan pemandu pujian yang disiapkan dengan baik.
Persekutuan yang akrab
Relasi akrab antarwarga jemaat itu penting. Relasi yang akrab akan mengikat mereka dalam sebuah persekutuan yang harmonis. Seumpama, sebuah keluarga, perbedaan bisa tetap ada, bahkan juga konflik. Namun, itu semua tidak akan sampai memisahkan. Sebab ada dasar kokoh yang melandasi, yaitu kasih Kristus.
Pembinaan yang berkesinambungan dan terarah
Pembinaan kelompok-kelompok di dalam jemaat sekolah minggu, remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, lansia dilakukan secara berkesinambungan dan terarah; tidak sporadis; tidak berjalan sendiri-sendiri; bukan suka-suka kelompok yang bersangkutan. Begitu juga kelompok-kelompok lain, seperti persekutuan wilayah dan pendalaman Alkitab. Pertanyaan kunci guna menunjang pembinaan yang berkesinambungan dan terarah adalah apa yang mau dicapai pada masa yang akan datang.
Pelayanan ke luar dan ke dalam
Pelayanan yang dimaksud disini adalah “pelayanan sosial”, seperti ketika para rasul menunjuk ke tujuh orang diaken dalam Kisah Para Rasul 6:1-7. Jadi, sementara para rasul fokus pada “pelayanan firman”, “pelayanan sosial” tidak terabaikan. Gereja tidak semestinya hanya berkutat dengan “masalah rohani”, tetapi juga perlu “menggarap pelayanan sosial”, kepada jemaat perkunjungan, diakonia, dan sebagainya dan kepada masyarakat di sekitar gereja.
Membawa perubahan hidup
Apabila misi ke luar gereja adalah supaya semakin banyak orang merasakan sapaan kasih Allah, mengenal, dan mengakui Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat, misi ke dalam gereja adalah menjadikan warganya memiliki sikap hidup yang “berbeda” dalam keseharian mereka di mana pun dan dalam peran apapun. Seperti jemaat mula-mula yang tidak hanya bertumbuh di dalam, tetapi juga “bersinar” di luar. Setiap orang kristiani memiliki identitas ganda, dipanggil dari dunia dan diutus ke dalam dunia. Artinya, dipanggil untuk menjadi berbeda dari “orang dunia”, tanpa menjadi terpisah dari dunia. Identitas kekristenan semestinya tidak hanya tampak dalam kehidupan kultis (ibadah), tetapi juga nyata dalam kehidupan etis.
SELAMAT MELAYANI
Komentar
Posting Komentar