BENIH ITU HARUS MATI 2
Yesus mengerti betul akan misi-Nya. Yesus mengerti kalau Dia tidak mati dalam pengorbanan, maka tidak ada kehidupan kekal tersedia bagi umat manusia yang percaya kepada nama-Nya. Musa yang adalah seorang pangeran Mesir dan menurut Talmud juga adalah seorang jenderal perang yang luar biasa, harus "diulek" Tuhan selama 40 tahun di padang belantara. Setelah itu, barulah Tuhan bisa jadikan Musa nabi-Nya yang membelah laut. Daniel dan kawan-kawan yang adalah bangsawan Yehuda, harus melewati proses dibawa ke Babel sebagai tawanan perang, kehilangan segala kemegahan dan kebebasan, barulah Tuhan bisa memakai mereka jadi sesuatu untuk memuliakan nama-Nya di seluruh Kerajaan Persia. Abraham menunggu selama 25 tahun, sudah tua dan tidak mungkin memiliki keturunan, baru menjadi bapa banyak bangsa.
Sobat, ternyata Tuhan juga tak bisa memakai bahan-bahan yang masih mentah. Dia harus "mengulek" halus orang-orang yang merasa hebat hingga hancur lebur dan mengerti bahwa mereka tidak ada apa-apanya. Setelah itu, baru Tuhan bisa pakai menjadi sesuatu agar nama Tuhan saja yang dimuliakan. Ia harus diproses, dirontokkan segala kekuatan dan kebanggaannya yang dahulu, sampai habis dan hanya bisa berkata, "Hanya Tuhan saja!" Benih itu tak bisa tumbuh dan menghasilkan sebelum jatuh habis ke tanah dan mati. Selama kita masih merasa bisa, hebat dan pintar, maka kemungkinan besar kita akan mencuri kemuliaan Tuhan jika kita diangkat tinggi. Tuhan sangat mengasihi kita, sebab itu Ia tidak akan izinkan kita jatuh seperti itu. Hanya ketika benih itu mati sajalah, maka kehidupan terjadi. Sebab itu relakanlah hatimu!
Ada tulisan dalam sebuah batu nisan yang berbunyi,”Life teaches us how to die; Death teaches us how to live”. (Kehidupan mengajarkan kita bagaimana caranya mati; kematian mengajarkan kita bagaimana caranya hidup). Suatu pernyataan yang menunjukkan adanya hubungan yang saling mengikat antara kehidupan dan kematian. Hubungan dua arah yang saling mempengaruhi. Menarik bukan!
Johannes 12:24-25
Karena pada
umumnya, kita mempunyai konsep ttg kehidupan dan kematian hanya satu arah saja:
yakni dari hidup menuju kematian. Kita semua hidup di dunia dan sedang menuju
kepada kematian. Ada seorang filsuf yang bernama Martin Heidegger dari hasil
pengamatannya ttg kehidupan manusia. Ia menyimpulkan dan memberi ciri pada
kehidupan manusia sebagai “Zein Zum Tode” – “Ada menuju kematian”.
Heidegger berani mengatakan bahwa manusia sudah ditakdirkan untuk mati begitu
ia lahir di dunia. Manusia ada untuk hidup menuju kematian.
Tidak mengherankan jikalau kematian bagi kebanyakan orang merupakan sesuatu yang menakutkan dan mengerikan sebagai pengaruh dari pemahaman Heidegger tadi. Kematian dianggap sebagai musuh paling besar yang harus dihindari. Oleh karena kematian itu dimengerti sebagai akhir dari segala sesuatu. Kalau sudah mati yang sudah tamat. Habis..tidak ada yang dapat kita lakukan lagi. Kita bisa mengerti mengapa manusia sama sekali tidak suka berpikir atau berbicara mengenai kematian. Kematian menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan.
Meskipun kita menyadari bahwa kita semua akan mati dan setiap hari pun kita menghadapi realita bahwa ada orang-orang yang mati di seluruh dunia ini oleh pelbagai macam sebab, namun segala sesuatu di sekeliling kita mendorong kita untuk terus berjalan “seolah-olah tidak ada apa pun yang baru terjadi. Dan keadaan ini membuat kita tidak pernah menyadari bahwa diri kita pun sebagai mahkluk yang akan mati.
Ada banyak usaha untuk menghindari kematian dari budaya kita. Kita mencoba
menutupinya dengan sesuatu yang palsu atau basa-basi. Kita bahkan tak dapat
membayangkan bagaimana kematian dapat mendatangkan kebaikan. Kematian adalah
suatu hal yang pasti akan dihadapi dan dialami setiap orang, tetapi kita
memperlakukan seolah-olah kematian ini bukan sesuatu yang nyata. Begitu juga
dalam hubungan dengan sesama, kadang kala kita lebih menyukai kebohongan yang
menyatakan bahwa kita dapat hidup selamanya. Kita lupa bahwa perjumpaan kita di
dunia ini relatif singkat, sehingga mungkin anda atau saya tidak akan ada lagi
di sini, besok, minggu depan atau tahun depan.
Kematian itu
adalah bagian dari kehidupan kita di dunia ini. Lalu bagaimana kita seharusnya
menyikapi kehidupan dan kematian? Perikop kita mengungkapkan pemahaman yang
diajarkan Tuhan Yesus kepada para pendengar & pengikut-Nya. Ternyata konsep
Tuhan Yesus berbeda dengan konsep dunia ini. Kalau konsep dunia: dari
hidup – mati; tetapi konsep Tuhan Yesus : hidup – mati – hidup lagi. Suatu
konsep yang sulit dimengerti dan diterima oleh akal sehat manusia. Mati – tapi
hidup lagi!! Berdasarkan logika sulit untuk dipercaya...mana mungkin!!
Dalam Yohanes 11, dikisahkan bagaimana Tuhan Yesus membangkitkan Lazarus. Bagi
Tuhan Yesus, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Justru melalui kematian
dapat dihasilkan buah-buah kehidupan. Untuk menjelaskan hal ini, Tuhan Yesus
memakai contoh sehari-hari yang merupakan kebenaran alamiah ttg biji gandum.
Dikatakan dalam Yohanes 12 ayat 24, “jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam
tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan
menghasilkan banyak buah.” Agar biji gandum itu dapat bertumbuh dan berbuah
maka ia harus ditanam dan mati terlebih dahulu.
Sebenarnya melalui penjelasan ini, Tuhan Yesus sedang mengungkapkan rahasia kehidupan yang dijalani-Nya di dunia ini. Seperti biji gandum, hidup Tuhan Yesus harus mati dulu untuk menghasilkan buah-buah keselamatan yang berlimpah. Untuk itu, Tuhan Yesus mengosongkan dan merendahkan diri-Nya menjadi sama dengan manusia, dan dalam ketaatan-Nya pada Bapa, Ia rela berkorban mati di salib untuk menebus dosa-dosa manusia. Ia telah memberi segala-Nya termasuk nyawa-Nya sendiri bagi kita manusia yang dikasihi. Suatu pengorbanan total! Melalui kematian-Nya, Tuhan Yesus dimuliakan. Namun makna kematian Tuhan Yesus bukan sekedar menebus dosa dan menyelamatkan manusia melainkan memberi kehidupan yang kekal bagi mereka yang percaya pada-Nya.
“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah.” Yohanes 12:24
Ketika Yesus menggunakan ilustrasi benih gandum yang jatuh ke tanah dan kemudian mati, sesungguhnya Ia sedang memberitahukan tentang keberadaanNya sendiri yang harus mengalami kematian dan dampak yang dihasilkan oleh karena kematianNya.
Benih yang ditanam harus mati terlebih dahulu sebelum menghasilkan buah yang berlipat ganda. Kehidupan kita pun akan menghasilkan tuaian dan buah berlipat jika kita mau berkorban. Contohnya adalah janda Sarfat yang rela berkorban justru dari kekurangannya. Di tengah situasi sulit di mana kekeringan (krisis) melanda, secara materi janda ini tidak punya apa-apa kecuali segenggam tepung dalam tempayan dan sedikit minyak dalam buli-buli. Namun janda ini rela memberikannya kepada Elia (abdi Allah) terlebih dahulu; ia taat melakukan apa yang disuruh Elia, “…buatlah lebih dahulu bagiku sepotong roti bundar kecil dari padanya, dan bawalah kepadaku, kemudian barulah kaubuat bagimu bagi anakmu.” (1 Raja-raja 17:13). Pengorbanan janda Sarfat sepertinya hal yang bodoh, untuk diri sendiri saja kurang namun malah berkorban bagi orang lain. Tetapi benih yang ditabur janda itu tidak pernah sia-sia, “Tepung dalam tempayan itu tidak habis dan minyak dalam buli-buli itu tidak berkurang seperti firman Tuhan yang diucapkanNya dengan perantaraan Elia.” (1 raja-raja 17:16).
Jadi selama keadaan masih baik mari kita menabur sebanyak mungkin untuk Tuhan, baik itu dalam bentuk waktu, tenaga, pikiran, uang atau harta. Segala sesuatu yang telah kita tabur itu tidak akan pernah sia-sia asal kita tidak mengungkit-ungkitnya. Begitu pula dalam hal mengikut Kristus, ada harga yang harus kita bayar. Bila kita ingin bertumbuh dan menghasilkan buah sesuai yang dikehendaki Tuhan, maka ‘kedagingan’ kita harus mati. Harus ada penundukan diri penuh kepada kehendak Tuhan sebagaimana Yesus tunduk kepada Bapa. Jika saat ini kita sedang ujian jangan menyerah dan putus asa karena semuanya itu mendatangkan kebaikan bagi kita, sebagaimana benih gandum harus mati terlebih dahulu sebelum akhirnya bangkit, bertumbuh dan berbuah lebat.
Di balik kematian ada kehidupan!
Saat Yesus menggunakan ilustrasi mengenai sebuah benih yang jatuh ke tanah, sesungguhnya Yesus sedang memberitahukan kematianNya yang akan datang dan buah yang akan dihasilkan dari pengorbanan-Nya.
Komentar
Posting Komentar